Status Populasinya yang Rentan Punah
Hingga kini populasi Burung Celepuk Jawa kian menurun, hal ini diakibatkan karena beberapa faktor seperti deforestasi atau alih fungsi hutan menjadi pemukiman yang membuat Burung Hantu kecil ini kehilangan habitatnya. Populasi Burung Celepuk Jawa juga diketahui berjumlah sekitar kurang dari 10.000 ekor saja.
Dan IUCN menetapkan status konservasi populasi Burung Celepuk Jawa termasuk kedalam status rentan. Oleh karena itu sebagai langkah perlindungan populasi Celepuk Jawa ini , Pemerintah Indonesia menetapkan dalam Peraturan Menteri LHK No. 92 Tahun 2018 bahwa Celepuk Jawa (Otus angelinae) sebagai salah satu dari Burung Hantu yang dilindungi di Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Bahasa jawa-nya kata: Burung hantu
Berikut terjemahan dari
burung = manuk, wihaga, paksi, peksi, kukila, ukila hantu = medi, memedi, momok, wedhon, keblak
Cari terjemahan bahasa jawa lainnya di
Burung Hantu merupakan burung yang belakangan ini mulai banyak dipelihara oleh sebagian orang. Bentuk tubuhnya serta suaranya yang unik membuat burung yang satu ini populer untuk dipelihara bagi para pecinta hewan. Tapi tahukah kamu kalau ternyata terdapat Burung Hantu yang kini statusnya langka dan dilindungi pemerintah
Burung Hantu Celepuk Jawa merupakan spesies Burung Hantu predator dari famili Strigidae dan genus Otus. Burung Hantu satu ini merupakan salah satu burung endemik Indonesia yang mendiami hutan-hutan Pulau Jawa.
Selain itu masih banyak lho informasi unik lainnya mengenai burung hantu kecil yang mendiami Pulau Jawa ini, oleh karena itu berikut adalah 5 fakta unik mengenai Burung Celepuk Jawa yang telah Kawan GNFI rangkum untuk kamu.
Burung Hantu Celepuk Jawa (Otus angelinae) merupakan jenis Burung Hantu kecil dengan panjang tubuh hanya sekitar 16 sampai 18 cm saja. Berat tubuh burung ini juga hanya sekitar 75 sampai 91 gram. Sangat kecil dibandingkan ukuran tubuh Burung Hantu Serak Jawa atau Tyto alba yang berukuran mulai dari 34 cm.
Hewan yang satu ini didominasi warna coklat keabu-abuan di bagian atas tubuhnya dan putih lurus dari bagian anus hingga dadanya. Burung Hantu Celepuk Jawa juga dipenuhi corak bercak-bercak berwarna hitam, putih, dan coklat yang tersebar di bagian atas tubuhnya.
Untuk alisnya, Celepuk Jawa memiliki warna putih mencolok dengan iris berwarna emas dan paruh berwarna kuning dengan kaki berwarna kuning kusam.
Musim Kawin yang Berbeda di Tiap Daerah
Musim kawin Burung Celepuk Jawa biasanya terjadi diantara bulan Februari dan Juni untuk Burung Celepuk Jawa yang tersebar di Jawa Barat. Sedangkan, untuk Burung Celepuk Jawa yang tersebar di Jawa Timur musim kawin terjadi pada bulan November dan Januari.
Burung Celepuk Jawa biasanya mampu menghasilkan 2 sampai 3 butir telur setiap masa bertelurnya. Dengan bentuk telur bulat sedikit lonjong dan berwarna putih. Celepuk Jawa biasanya meletakkan telur-telur mereka di dalam sarangnya yang terletak di lubang pohon, pelepah kelapa, sampai di rumpun bambu.
Burung Hantu yang Pendiam
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Burung Hantu Celepuk Jawa memiliki sifat pendiam dan sangat tenang. Tetapi, walaupun pendiam dan jarang bersuara, suara Celepuk Jawa muda sangat keras berbeda dengan Celepuk Jawa dewasa yang cenderung mengeluarkan kecil seperti bersiul.
Sama seperti hewan nokturnal pada umumnya, Celepuk Jawa aktif beraktifitas dan berburu di malam hari. Dan untuk mencari makan, Burung Hantu Celepuk Jawa mengandalkan indera penglihatan dan pendengarannya yang tajam untuk berburu mangsa. Celepuk Jawa senang mengkonsumsi serangga walaupun berapa kali terlihat berburu reptil-reptil kecil.
Burung Endemik Pulau Jawa
Burung Hantu Celepuk Jawa tersebar di berbagai daerah Pulau Jawa sehingga hewan ini dikategorikan sebagai burung endemik Pulau Jawa. Habitatnya menempati daerah hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.500 sampai 2.500 mdpl.
Pada tahun 2001, BirdLife International menyebutkan bahwa Celepuk Jawa terdapat di tiga gunung di Jawa Barat yaitu Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Gunung Salak. Spesies ini juga pernah terlihat di Pegunungan Slamet di Jawa Tengah dan di Pegunungan Ijen di Jawa Timur. Namun untuk jumlah populasi dan persebarannya tersebut masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, mengingat sifat celepuk jawa yang sangat tenang dan pendiam menyulitkan penemuan keberadaannya di alam bebas.
Penulis : Ir. Supriyana
Editor : DAA. Pertiwi
Tikus (Rattus argentiventer) merupakan salah satu OPT utama tanaman padi di kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Hama tikus padi di kabupaten Sleman menempati urutan kedua setelah penggerek batang dengan rata-rata serangan pertahun 2.752,7 Ha (data lima tahun terakhir). Luas serangan OPT tersebut, termasuk luas serangan yang paling luas di DIY, dimana sebagian besar serangan terjadi di kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Godean, Gamping, Tempel dan Cangkringan.
Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk dapat menekan perkembangan serangan hama tikus ini. Mulai dari sanitasi lingkungan, pengendalian secara mekanis, biologis maupun secara kimiawi. Berbagai keterbatasan dan kesulitan dalam pengendalian hama ini dikoordinasikan secara menyeluruh baik dengan petani, instansi terkait maupun pemerintah daerah setempat. Melihat berbagai kendala yang ada di lapangan, maka diperlukan upaya konservasi musuh alami tikus. Dalam jangka panjang, musuh alami tikus ini diharapkan lebih efisien, efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Dari sekian banyak musuh alami tikus, burung Serak Jawa (Tyto alba) dipandang sebagai salah satu predator pengendali tikus yang paling potensial. Kelebihan Tyto alba sebagai pengendali tikus adalah makanan utamanya spesifik tikus, kemampuan berburu sangat tinggi, tangkas, cekatan dalam menyambar tikus, kemampuan mengkonsumsi tikus cukup tinggi (2-3 ekor per malam), mampu membunuh tikus melebihi dari jumlah yang dimakan, kawasan berburunya tertatur, tidak akan meninggalkan kawasannya selama di kawasan tersebut masih ada tikus, perkembangbiakannya cepat, sepasang Tyto alba mampu mengamankan areal persawahan seluas 5 – 10 Ha dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya (Sabirin, dkk. 2014). Selain itu, Tyto alba mempunyai kemampuan mencari mangsa lebih baik dibandingkan jenis pemangsa lainnya, memiliki penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam di malam hari, tidak bersuara saat terbang, daya jelajah tinggi, perkembangbiakannya cepat, setia pada sarangnya dan mampu hidup lebih dari 5 tahun. Untuk mengoptimalkan peran Tyto alba sebagai pemangsa tikus yang efektif, maka diupayakan memberikan lingkungan yang cocok untuk perkembangannya dan melindunginya dari perburuan liar.
Perkembangbiakan Tyto alba secara alami berbiak setiap saat sepanjang tahun tergantung suplai makanan. Populasi tikus yang tinggi menyebabkan populasi burung ini meningkat tajam. Perkembangan burung Serak Jawa ini sangat dipengaruhi oleh populasi tikus sebagai pakan alami. Burung Serak Jawa dewasa setiap hari sanggup memangsa 2 – 3 ekor tikus dewasa dan pada musim berkembang biak, konsumsi akan meningkat sesuai jumlah anak yang menetas. Dapat diperkirakan bahwa selama musim berbiak, sepasang Serak Jawa dan lima anaknya mampu memangsa lebih dari 1.080 tikus. Ketika mangsa berlimpah, terkadang hasil tangkapan berupa tikus disimpan sebagai cadangan makanan di sarang atau tempat tersembunyi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Serak Jawa dapat membunuh tikus melebihi dari yang dikonsumsi setiap hari (Raptor Club Indonesia, 2011).
Pemanfaatan Serak Jawa sebagai pengendali hayati terhadap tikus sebenarnya telah lama diterapkan. Diberbagai belahan dunia telah banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Pada ekosistem persawahan, pemanfaatan Serak Jawa untuk pengendalian tikus telah dirintis antara lain di Malaysia, Bali, JawaTimur, Jawa Tengah dan DIY.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, terpantau 36 lokasi sarang Serak Jawa (rubuha) yang dikembangkan di daerah-daerah endemis serangan tikus di kecamatan Seyegan, Tempel, Moyudan, Minggir, Godean, Gamping, Cangkringan dan Pakem. Menurut Astuti (dalam Astuti RK, et all, 2006) di kabupaten Sleman Provinsi DIY pada tahun 2004 – 2005 telah mengintroduksi Serak Jawa sebanyak 16 pasang. Burung Serak Jawa tersebut diintroduksi di beberapa wilayah kecamatan endemis serangan tikus. Berdasarkan hasil evaluasi setelah dilakukan pelepasan, terpantau keadaan pertanaman padi di lokasi pelepasan sebagian besar aman dari serangan hama tikus. Efektivitas burung Serak Jawa dalam pengendalian tikus di beberapa tempat terlaporkan cukup efektif dalam menekan serangan hama tikus. Dalam upaya pengembangbiakan burung Serak Jawa di kabupaten Sleman, pemda setempat memberikan dukungan dengan adanya fasilitasi rubuha (rumah burung hantu), kandang karantina di kecamatan Moyudan dan Cangkringan serta Instruksi Bupati tentang pelestarian burung Serak Jawa ini. Pengendalian dengan pemangsa alami ini tentunya memerlukan proses dan tidak bisa diperoleh hasil dalam waktu yang singkat, karena berkaitan dengan perkembangan populasi burung Serak Jawa yang memadai sampai mencapai kestabilan ekosistem. Hal tersebut juga perlu dibarengi dengan upaya-upaya yang mendukung lainnya seperti lingkungan yang mendukung habitatnya serta pemahaman masyarakat untuk tidak melakukan perburuan burung Serak Jawa tersebut agar kelestarian burung Serak Jawa dapat terlindungi dengan baik.
Beberapa daerah telah memanfaatkan burung Serak Jawa ini dalam pengendalian tikus, diantaranya adalah kabupaten Kendal, dimana kabupaten Kendal merupakan daerah endemis tikus di Provinsi Jawa Tengah, yang pada tahun 2000 – 2002 telah mengintroduksi 50 pasang Serak Jawa (Astuti RK, et all, 2006). Tercatat sebanyak 108 lokasi sarang burung Serak Jawa yang tersebar di wilayah kabupaten Kendal, mulai dari dekat pantai sampai pegunungan dengan aneka tipe lahan. Setiap sarang burung ditemukan rata-rata 4,76 ekor burung dengan penyebaran pada desa-desa yang sering diserang tikus (Kuswardhani, 2006 dalam Sabirin dkk, 2013).
Selain itu keberhasilan memanfaatkan Serak Jawa untuk mengendalikan tikus yang cukup sukses juga dilaporkan dari Desa Tlogoweru kecamatan Guntur kabupaten Demak (2012). Menurut Sutejo Kepala Desa Tlogoweru, dengan memanfaatkan burung Serak Jawa dapat menurunkan kerusakan tanaman padi dari serangan tikus dari 40% menjadi 2%, sedangkan pada tanaman jagung dapat menurunkan kerusakan dari 60% menjadi 4%. Dengan demikian warga Tlogoweru berhasil menyelamatkan hasil tanaman padi dan jagung pada tahun 2012 sebesar Rp. 7,4 Milyar (Sabirin,dkk. 2013).
Dari beberapa wilayah yang telah memanfaatkan burung Serak Jawa sebagai pengendali tikus, maka potensi Serak Jawa sebagai pengendali alami tikus telah banyak diketahui. Penggunaannya disamping memberi manfaat sebagai pengendali tikus yang efektif, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, juga memberi manfaat secara tidak langsung terhadap upaya pelestarian jenis dan populasinya. Dewasa ini terdapat berbagai ancaman kelestarian terhadap burung pemangsa termasuk Serak Jawa, mulai dari tingginya aktifitas perburuan, perdagangan illegal, kerusakan habitat maupun karena perubahan iklim. Oleh karena itu marilah kita jaga kelestariannya sekaligus kita dapatkan manfaatnya sebagai pengendali alami hama tikus di persawahan.
1.Ir. Supriyana, 2014. Karya Tulis Ilmiah, Pengembangbiakan Burung Hantu Serak Jawa (Tyto alba) Pengendali Tikus Alami di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, 2015. Buletin Perlintan Edisi 20/2015. Pengembangan Burung Hantu di Karanggeneng, Lamongan Jawa Timur.
Sabirin dkk, 2014. Mengendalikan Tikus Berkelanjutan Berbasis Kawasan. www.ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptp Medan. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016.